AKARTA. Pelaku industri perbankan syariah memang menyambut baik rencana Bank Indonesia (BI) mengatur ulang bisnis gadai emas. Tteristik debitur dan praktik lapangan. Selama ini, lebih dari 50% gadai emas di bank syariah justru bernilai di atas Rp 100 juta sampai Rp 500 juta dan sebagian besar berupa pembiayaan produktif.
Sejak harga emas turun dan nilai gadai melonjak gila-gilaan, bankir mengakui citra positif gadai emas di bank syariah agak luntur. Publik pun terlanjur mencap produk layanan ini sebagai alat berspekulasi, melenceng dari tujuan rahn (gadai) untuk pembiayaan yang bersifat mendesak.
Tapi, itu hanyalah satu sisi. Bagi mereka, tidak adil jika gara-gara sebagian sisi gelap itu lalu muncul aturan yang berpotensi menghambat bisnis bank syariah secara keseluruhan.
Bambang Widjanarko, Direktur Bisnis Bank BNI Syariah menjelaskan, emas itu tak berbeda dengan agunan. Pemilik emas menyerahkan collateral untuk mendapatkan dana dari bank.
Nah, pinjaman ini mereka gunakan untuk berusaha atau modal kerja, bukan untuk konsumtif ataupun berspekulasi. Nilai emas yang digadaikan itu rata-rata di atas Rp 100 juta.
Bank syariah merasa serba salah Jika BI membatasi nilai gadai emas maksimal sebesar Rp 100 juta, bank syariah menjadi merasa serba salah. Nasabah bakal sulit terlayani. "Nasabah yang datang ke bank bakal bingung. Mereka meminta pembiayaan produktif, tapi, kok, ditolak. Padahal mereka memiliki agunan," kata Bambang.
Arie Purwandono, Direktur Bisnis Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah, mengusulkan agar BI menetapkan plafon gadai maksimal Rp 500 juta. Dia beralasan, plafon sebesar Rp 100 juta hanya cukup untuk debitur pembiayaan mikro. "Hampir 50% debitur gadai emas kami berikan untuk pembiayaan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang membutuhkan biaya hingga Rp 500 juta," kata Ari.
Agar tidak menimbulkan kerancuan dan tidak mengganggu bisnis bank, Bambang mengusulkan agar BI membuat pemisahan jenis gadai emas. Aturan main gadai emas untuk investasi tidak boleh sama dengan gadai emas untuk pembiayaan produktif.
BI bisa menyusun kategorisasi berdasarkan besaran plafon. Misalnya, nilai gadai konsumtif dan investasi, tidak boleh dari Rp 100 juta. Tetapi, jika uang hasil gadai emas akan digunakan untuk kegiatan produktif, plafonnya boleh di atas Rp 100 juta.
Cara menyeleksi nasabah untuk investasi dan modal kerja tidak terlalu sulit. Bank bisa mewajibkan si nasabah menjelaskan tujuan melakukan gadai. Dari situ bank bisa menilai, apakah uangnya benar-benar digunakan untuk kegiatan produktif, atau untuk tujuan lainnya.
Jika masih kurang meyakinkan, bank bisa membandingkan data yang disodorkan debitur dengan kondisi di lapangan. Jadi, semacam survei atau analisa yang biasa dilakukan bank sebelum memberikan pinjaman.
Bank juga bisa mengecek rekam jejak si debitur dan kemampuan keuangannya. Kata Bambang, praktik ini sudah diterapkan BNI Syariah. "Jika nilai yang kami pinjamkan masih lebih kecil dibandingkan jumlah isi rekening di bank, kami akan memberikan," katanya.
Setelah membuat kategorisasi, kata Ari, BI menetapkan masa jatuh tempo yang berbeda-beda. Untuk kegiatan investasi, tenornya cukup dua atau tiga bulan. Sedangkan untuk pembiayaan produktif bisa dibuat lebih panjang.
Kepala Biro Penelitian, Pengembangan, dan Pengaturan Perbankan Syariah BI, Tirta Segara mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan semua masukan dari perbankan. Saat ini kajian masih berlangsung.
Bank sentral menargetkan surat edaran akan terbit pada akhir Januari ini. "Untuk besar plafon ini, kita sedang rekap statistik di Bank Syariah. Kita ingin tahu, kebutuhan di masyarakat itu seperti apa," terangnya.
Sumber : http://keuangan.kontan.co.id/v2/read/1326072527/87026/Industri-menawar-beleid-gadai-emas-