Rabu, 16 April 2008


PERHIASAN EMAS PUTIH PLG

Apa itu PLG?

PLG hasil temuan dari Bapak Heru Budihartono ini adalah bahan untuk membuat perhiasan yang terdiri dari campuran logam-logam Platinum Group Metal + Emas + logam logam lain, diproses dengan teknologi tinggi yang sudah dimiliki oleh PT. HWT sehingga menghasilkan perhiasan-perhiasan yang memenuhi standar kualitas setara dengan Perhiasan Emas Putih / White Gold yang ada pada saat ini, bahkan ada keunggulan dari warna dasar / natural putih mengkilap dan sama sekali tidak ada warna kekuning-kuningan, dan model-model perhiasan PLG sama komplitnya dengan perhiasan White Gold.

Untuk campuran logam pada PLG sangat diperhatikan Komposisinya, karena untuk menjaga agar tidak berubah warna kekuning-kuningan harus diimbangi dengan pemakaian logam emas yang tidak terlalu banyak. Juga diimabangi dengan logam-logam lain yang tidak mudah tergores namun tidak menggunakan unsur logam Nikel. Dan juga mengimbangi pemakaian logam Palladium yang tidak terlalu berlebihan agar warna tetap mengkilap dan warna tidak menjadi keabu-abuan.

Platinum Grup Metal adalah kelompok Logam Mulia dengan karakteristik serupa Platinum atau Platina, umumnya kumpulan logam-logam tersebut adalah : Palladium, Rhodium, Ruthernium, Osmium, Iridium.

Kadar emas di dalam PLG tidak dapat dinilai seperti kadar perhiasan emas pada umumnya, karena perhiasan emas bahan dasarnya adalah emas murni dan dicampur alloy/campuran logam lainnya sehingga kadar emasnya bisa diukur dengan satuan kadar. Sedangkan PLG adalah salah satu kesatuan Campuran logam-logam PGM dan emas, sehingga tidak dapat dinilai dengan kadar. Namun PT. Hartono Wira tanik menjamin kepada seluruh Wholesaler, retailer dengan sertifikat nilai tukar kembali senilai 30 % Harga emas.

Keunggulan dari Emas Putih PLG adalah
1. Warna dasar / Natural putih mengkilat, tidak berubah warna menjadi kekuning-kuningan maupun kehitam-hitaman.
2. Kualitas setara dengan White Gold dan Model perhiasan PLG sama komplitnya dengan perhiasan White Gold.
3. Harga hanya 50% dari perhiasan White Gold (emas 18 K )
4. PLG dapat diperjual belikan seperti layaknya perhiasan lainnya, dan bisa dijadikan sebagai jaminan Gadai.
5. PLG sudah didaftarkan Merk dagang dan HAKI nya.

Bagaimana Menguji Keaslian PLG?

Sebuah Barang yang berharga tentunya riskan terhadap pemalsuan, dibawah ini kami jelaskan petunjuk pengujian produk PLG dari PT. hartono Wira Tanik sebagai berikut:

1. Penelitihan pada fisik produk PLG, yang secara kasat mata dapat dilihat dengan jelas, atau bisa juga menggunakan kaca pembesar, dengan meneliti pada sisi badan perhiasan atau sambungan perhiasan yang berupa ring, kokot, plat, lobster atau bagian pengait perhiasan tertulis / ada cap PLG HWT atau HWT PLG.
Jadi jika Produk PLG tidak ada tanda bertuliskan PLG HWT atau HWT PLG berarti itu produk palsu dan bukan milik PT. Hartono Wira Tanik.

2. Berat Jenis (BJ) dari perhiasan Emas Putih Solid adalah 14,39 gr/cc, untuk Perhiasan Perak adalah 10,5 gr/cc sedangkan untuk PLG sekitar 11,12 gram/cc.

3. Menggunakan cara pengujian tradisional, yaitu dengan menggunakan batu cicilia Hitam, air keras (Nitrat) dan air keras emas (HCL). Cara ini adalah cara tradisional yang cukup akurat dan sampai saat ini walaupun banyak alat-alat uji yang canggih tetap saja cara tradisional ini masih dipakai. cara Pengujian ini adalah dengan cara menggosokan Produksi PLG pada batu cicilia (batu uji) sehingga membentuk garis-garis putih pada permukaan batu, lalu gosokan tersebut ditetesi air keras perak/nitrat, maka garis akan hilang dan cenderung menjadi hitam seperti terbakar, setelah itu diteteskan air keras emas/HCL pada bekas tetesan air keras Nitrat tadi, lalu cairan tersebut ditarik kebawah, maka akan terjadi reaksi pada cairan tersebut, yaitu mengeluarkan serbuk berwarna kuning, hal tersebut menunjukan bahwa produk PLG ada emasnya.

Hal yang paling mengkhawatirkan adalah pemalsuan produk PLG dengan menggunakan bahan dari Perak atau jenis logam lainnya. Tapi jika bukan produk PLG dan dilakukan cara pengujian yang sama seperti diatas akan menjadi reaksi-reaksi yang berbeda, yaitu jika dari bahan dasar perak, warna serbuk yang dikeluarkan pada cairan tersebut adalah berwarna putih.
(wiryo-disarikan dari Buku Panduan Produk Emas Putih PLG)

Senin, 14 April 2008

History of Gold



History(Au), chemical element, a dense, lustrous, yellow precious metal of Group Ib, Period 6, of the periodic table. Gold has several qualities that have made it exceptionally valuable throughout history. It is attractive in color and brightness, durable to the point of virtual indestructibility, highly malleable, and usually found in nature in a comparatively pure form.
The history of gold is unequaled by that of any other metal because of its value in the minds of men from earliest times.Because gold is visually pleasing and workable and does not tarnish or corrode, it was one of the first metals to attract human attention. Examples of elaborate gold workmanship, many in nearly perfect condition, survive from ancient Egyptian, Minoan, Assyrian, and Etruscan artisans, and gold has continued to be a highly favored material out of which to craft jewelry and other decorative object.
In nature its size could be measured start from which is not seen by eyes (some micron, one micron is permil) until some centimeter. Big sized gold, some centimeters above called nugget, generally the in form of rock. One of the famous producer of nugget is Australia. Nugget couldn�t be easily found because of its size for examples like 'Welcome Stranger' weight 7,1 kg, 53x25 cm, found in1869 in the area of Victoria, 'Hand Of Faith' weight 22,7 kg, 46x18 cm, found in the area of Victoria also in 1980th, ' Golden EagleI', 38,4 kg, 66x30cm. Because there were such a big number of nugget found in Australia so that made a lot of amateurs use detector to look for it and even there were people who managed this seeking nugget in tour packet hunt.
Gold is widespread in low concentrations in all igneous rocks. Its abundance in the Earth's crust is estimated at about 0.005 parts per million. It occurs mostly in the native state, remaining chemically uncombined except with tellurium, selenium, and possibly bismuth. The element's only naturally occurring isotope is gold-197. Gold often occurs in association with copper and lead deposits, and, though the quantity present is often extremely small, it is readily recovered as a byproduct in the refining of those base metals. Large masses of gold-bearing rock rich enough to be called ores are unusual. Two types of deposits containing significant amounts of gold are known: hydrothermal veins, where it is associated with quartz and pyrite (fool's gold); and placer deposits, both consolidated and unconsolidated, that are derived from the weathering of gold-bearing rocks.
The origin of enriched veins is not fully known, but it is believed that the gold was carried up from great depths with other minerals, at least in partial solid solution, and later precipitated. The gold in rocks usually occurs as invisible disseminated grains, more rarely as flakes large enough to be seen, and even more rarely as masses or veinlets. Crystals about 2.5 cm (1 inch) or more across have been found in California. Masses, some on the order of 90 kg (200 pounds), have been reported from Australia.
Alluvial deposits of gold found in or along streams were the principal sources of the metal for ancient Egypt and Mesopotamia. Other deposits were found in Lydia (now in Turkey) and the lands of the Aegean and in Persia (now Iran), India, China, and other lands. During the Middle Ages the chief sources of gold in Europe were the mines of Saxony and Austria. The era of gold production that followed the Spanish discovery of the Americas in the 1490s was probably the greatest the world had witnessed to that time. The exploitation of mines by slave labor and the looting of Indian palaces, temples, and graves in Central and South America resulted in an unprecedented influx of gold that literally unbalanced the economic structure of Europe. From Christopher Columbus' discovery of the New World in 1492 to 1600, more than 225,000 kg (8,000,000 ounces) of gold, or 35 percent of world production, came from South America. The New World's mines--especially those in Colombia--continued into the 17th and 18th centuries to account for 61 and 80 percent, respectively, of world production; 1,350,000 kg (48,000,000 ounces) were mined in the 18th century. (source http://logammulia.com/)

Selasa, 08 April 2008

Fungsi Emas

Firman Allah SWT:
“…… orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS.9/ At-Taubah: 34)

Dalam masyarakat yang maju, dikenal alat pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai uang dinar dan dirham.

Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766.

Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” yang ditulis pada awal abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain.

Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter, dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran.

Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna, yang maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.

Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.

Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.

Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham, karena mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Menurut konsep ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas, misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian, sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods, sedangkan capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).

Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.”

Persamaan fungsi uang dalam sistem ekonomi Syariah dan konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account), sedangkan perbedaannya ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi “motif money demand for speculation” yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.”

Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”.

Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni :
1. Perdagangan uang akan memicu inflasi;
2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan;
3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang;
4. Perdagangan internasional akan menurun;
5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic mata uang akan mengalir keluar negeri.

Perdagangan uang adalah salah satu bentuk riba yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat pertukaran dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang kepada barang yang lain.

Dengan demikian, maka dalam praktek sebuah Bank Syariah yang benar, Bank bukan menjual-belikan uang tetapi adalah menjual-belikan barang dan atau berbagi hasil dalam sebuah kemitraan usaha guna menghindari perubahan fungsi uang dari alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi.

Penulis: MERZA GAMAL (Pemerhati Sosial-Ekonomi Syariah)