Senin, 30 Juni 2008

“Penjajahan IMF di Indonesia”

Oleh: Adian Husaini
Beberapa waktu lalu, saya menerima kiriman tulisan dari Muhaimin Iqbal, seorang praktisi dan pakar ekonomi syariah di Indonesia. Tulisan itu cukup menarik, karena mengupas secara teknis, aspek-aspek penjajahan ekonomi Indonesia oleh sebuah lembaga internasional bernama International Monetary Fund (IMF). Pada catatan kali ini, kita akan menyimak sebagian dari isi tulisan Iqbal tentang penjajahan IMF di Indonesia tersebut.Apa itu IMF? IMF bersama Bank Dunia (World Bank) dilahirkan melalui pasal-pasal perjanjian (Articles of Agreement) yang dirumuskan dalam koferensi internasional di bidang moneter dan keuangan di Bretton Woods, New Hampshire, USA, 1-22 Juli 1944. Perjanjian yang melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan Bretton Woods Sistem ini intinya mewajibkan seluruh negara penanda tangan perjanjian tersebut (awalnya 44 negara) untuk mengkaitkan nilai tukar mata uangnya (pegged rate) terhadap emas dengan kelonggaran hanya plus minus 1 %.IMF yang secara resmi berdiri tanggal 27 Desember 1945 setelah 29 negara menanda tangani Articles of Agreement, memiliki tugas utama untuk mengawasi agar negara-negara penanda tangan tersebut mematuhi apa yang telah disepakatinya, bahkan apabila ada penyimpangan diatas plus minus 1% maka perlu persetujuan khusus dari IMF. Sesuai kesepakatan ini pula Dollar Amerika di-peg-kan ke emas dengan rate US$ 35 per troy ounce emas.Ironinya adalah Amerika Serikat yang menjadi promotor Bretton Woods dan juga IMF, ternyata juga menjadi negara pertama yang secara diam-diam melanggar kesepakatan bersama tersebut. Bahkan kecurangan ini mulai mendapatkan protes oleh sekutu Amerikat Sendiri yaitu Generale De Gaulle dari Perancis yang pada tahun 1968 menyebut kesewenang-wenangan Amerika sebagai mengambil hak istimewa yang berlebihan (exorbitant privilege).Keingkaran Amerika Serikat mencapai puncaknya ketika secara sepihak Amerika Serikat memutuskan untuk tidak lagi mem-peg-kan (mengkaitkan) dollar-nya dengan cadangan emas yang mereka miliki – karena memang mereka tidak mampu lagi! Kejadian yang disebut Nixon Shock tanggal 15 Agustus 1971 ini tentu mengguncang dunia karena sejak saat itu sebenarnya Dollar Amerika tidak bisa lagi dipercayai nilainya sampai sekarang.Yang menarik adalah, dari keingkaran Amerika Serikat ini seharusnya masyarakat dunia sudah menyadari bahwa IMF telah gagal menjalankan fungsinya untuk mengawasi para anggota agar mem-peg-kan mata uangnya terhadap emas dan tidak lebih dari plus minus 1 %. Kegagalan IMF menjalankan fungsi utama ini-pun seharusnya otomatis membuat IMF bubar karena tidak ada lagi alasan untuk menjustifikasi keberadaannya.Namun apa yang terjadi kemudian adalah hal yang justru dapat membongkar siapa sebenarnya IMF. Hanya sekitar empat bulan setelah tanggal yang seharusnya menjadi tanggal kematian IMF, yaitu 15 Agustus 1971, pada tanggal 18 Desember 1971, IMF justru dihidupkan kembali dalam bentuknya yang baru melalui perjanjian yang disebut sebagai Smithsonian Agreement dan ditanda tangani di Smithsonian Institute. Dari dua nama yang terakhir ini tentu tidak terlalu sulit bagi kita untuk memahami, minimal ‘keeratan hubungan’ antara IMF dan YahudiBagaimana dengan Indonesia, sebagai salah satu anggota IMF? Iqbal mengajak kita untuk melihat kembali peristiwa tanggal 15 Januari 1998, dimana Presiden Republik Indonesia (Soeharto) harus mengikuti kemauan IMF dengan menanda tangani 50 butir kesepakatan. Upaya Soeharto untuk membuat solusi alternatif dengan sistem CBS ditentang oleh IMF dan pemimpin Negara-negara besar. Di dalam negeri, para ekonom dan media massa juga berteriak menolak solusi CBS yang dibawa oleh Prof. Steve Henke.Akhirnya, Soeharto tunduk kepada kemauan IMF dan menandatangani Letter of Intent. Di butir-butir tersebut-lah Indonesia kehilangan kedaulatan ekonominya sejak 15 Januari 1998. Berikut adalah sebagian kecil dari butir-butir kesepakatan dengan IMF yang menunjukkan bahwa kedaulatan ekonomi dan moneter itu lepas dari tangan kita:
Pemerintah diharuskan membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan akhirnya pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud. Maka lahirlah Undang-undang no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Pertanyaannya adalah, seandainya Indonesia masih berdaulat, mengapa untuk membuat Undang-Undang yang begitu penting harus dipaksakan oleh pihak asing?. Kalau Undang-Undangnya dipaksakan oleh pihak asing – yang diwakili oleh IMF waktu itu, terus untuk kepentingan siapa Undang-Undang ini dibuat? Dalam salah satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota. Lahirnya Undang-Undang no 23 tersebut tentu sejalan dengan kemauan IMF. Lantas hal ini menyisakan pertanyaan besar – siapa yang mengendalikan uang di negeri ini? Dengan Undang-undang ini Bank Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia. Tetapi ironisnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF seperti yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal berikut :Article V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota.Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF Indonesia harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar.Article IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF.Article VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, expor impor emas, neraca perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya.Pengaruh IMF terhadap kebijakan-kebijakan Bank Indonesia tersebut tentu memiliki dampak yang sangat luas terhadap Perbankan Indonesia karena seluruh perbankan di Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia. Dampak lebih jauh lagi karena perbankan juga menjadi tulang punggung perekonomian, maka perekonomian Indonesiapun tidak bisa lepas dari pengaruh kendali IMF. Butir-butir sesudah ini hanya menambah panjang daftar bukti yang menunjukkan lepasnya kedaulatan ekononomi itu dari pemimpin negeri ini.
Pemerintah harus membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang sudah go public. Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.
Pemerintah harus menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi domestik maupun internasional. Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat.Hal-hal tersebut diatas, baru sebagian dari 50 butir kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF. Namun dari contoh-contoh ini, dengan gamblang kita bisa membaca begitu kentalnya kepentingan korporasi asing besar, pemerintah asing dan institusi asing (yang oleh John Perkins disebut sebagai korporatokrasi yang mendiktekan kepentingan mereka ketika kita dalam posisi yang sangat lemah, yang diawali oleh kehancuran atau penghancuran nilai mata uang Rupiah kita.
Sama dengan Penjajahan VOCPenjajahan ekonomi ala IMF ini mirip dengan catatan sejarah kita 400 tahun lalu, berikut petikannya:Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa itu, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia ).Jadi kehilangan kedaulatan dibidang ekonomi yang kita alami sekarang sebenarnya hanya pengulangan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia empat abad silam, secara visual kehilangan kedaulatan ini seolah tercermin dari foto yang menghiasi halaman media masa setelah kesepakatan tersebut ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia didepan petinggi IMF saat itu - Michel Camdessus.Demikian petikan ringkas dari fenomena penjajahan terhadap Indonesia dari VOC ke IMF sebagaimana dipaparkan oleh Muhaimin Iqbal. Menurut Iqbal, saat dijajah oleh VOC, masih banyak pemimpin dan rakyat yang sadar, bahwa mereka dijajah. Tetapi, saat ini, tidak banyak yang sadar akan realitas penjajahan oleh IMF. Yang lebih mengerikan, banyak cendekiawan yang menjadi pendukung IMF dan mendukung tindakan serta kebijakan IMF di Indonesia. Disamping masalah moralitas, ada masalah pendidikan ekonomi liberal yang diajarkan pada berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.Seorang kandidat doktor bidang ekonomi di Universitas Airlangga Surabaya menceritakan bahwa sejauh penelitiannya, semua kurikulum di fakultas ekonomi memang bermuatan ekonomi liberal. Karena itu, jika ingin merdeka dari penjajahan ekonomi, maka yang pertama kali harus dimerdekakan adalah ”pikiran” dan ”mental” terlebih dahulu. Dan itu harus dilakukan melalui lebaga pendidikan. Adalah mustahil bisa merdeka, jika para ilmuwan ekonomi masih melihat bahwa penjajahan IMF adalah rahmat bagi Indonesia. Wallahu a’lam. (Depok, 23 Februari 2007/hidayatullah.com]

Senin, 07 April 2008

Mengenal Dinar dan Dirham


Dinar Emas dan Dirham Perak

Abu Bakr ibn Abi Maryam meriwayatkan bahwa beliau mendengar Rasulullah salallaahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Masanya akan tiba pada umat manusia, ketika tidak ada apapun yang berguna selain dinar dan dirham.” (Masnad Imam Ahmad Ibn Hanbal).
Kepingan Logam Muslim PertamaPada awalnya Muslimin menggunakan emas dan perak berdasarkan beratnya dan Dinar-Dirham yang digunakan merupakan tiruan dari bangsa Persia di masa pemerintahan Yezdigird III raja dinasti Sassan, yang dicetak di masa Khalifah ‘Usman, radiallahu anhu. Yang membedakan dengan koin aslinya adalah adanya tulisan Arab yang berlafazkan “Bismillah”. Sejak saat itu tulisan “Bismillah” dan bagian dari Al Qur’an menjadi suatu hal yang lazim ditemukan pada koin yang dicetak oleh Muslimin. Seri yang diterbitkan berikutnya, berdasarkan drachma Khusru II, yang kepingannya kemungkinan mewakili sebagian besar uang yang beredar. Bersamaan dengan kepingan Sasan yang dicetak bangsa Arab dengan jenis Khusru terbaru yang pertama kali diterbitkan dibawah kepemimpinan Khulafa’urrasyidin, dalam perkembangan selanjutnya lebih banyak lagi kepingan versi cetakan nama Khusru diganti dengan nama amir Arab setempat atau terdapat nama Khalifah. Bukti sejarah menunjukkan bahwa kebanyakan kepingan ini bertanggalkan Hijriah. Kepingan tembaga Muslim tertua tidak dibubuhi nama pencetak dan tanggal, tapi ada seri yang kemungkinan telah diterbitkan semasa kekhalifahan ‘Usman atau ‘Ali, radiallahu anhu. Kepingan ini merupakan tiruan tidak sempurna dari bentuk kepingan Romawi timur 12-nummi yang dicetak oleh Heraclius dari Alexandria.
Standar dari koin yang ditentukan oleh Khalif Umar ibn al-Khattab, berat dari 10 Dirham adalah setara dengan 7 Dinar (1 mithqal). Pada tahun 75 Hijriah (695 Masehi) Khalifah Abdalmalik memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham untuk pertama kalinya, dan secara resmi beliau menggunakan standar yang ditentukan oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Khalif Abdalmalik memerintahkan bahwa pada tiap koin yang dicetak terdapat tulisan: “Allahu ahad, Allahu samad”. Beliau juga memerintahkan penghentian cetakan dengan gambar wujud manusia dan binatang dari koin dan menggantinya dengan huruf-huruf.
Perintah ini diteruskan sepanjang sejarah Islam. Dinar dan Dirham biasanya berbentuk bundar, dan tulisan yang dicetak diatasnya memiliki tata letak yang melingkar. Lazimnya di satu sisi terdapat kalimat “tahlil” dan “tahmid”, yaitu, “La ilaha ill’Allah” dan “Alhamdulillah” sedangkan pada sisi lainnya terdapat nama Amir dan tanggal pencetakkan; dan pada masa masa selanjutnya menjadi suatu kelaziman juga untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah, salallahu alayhi wa salam, dan terkadang, ayat-ayat Qur’an.
Koin emas dan perak menjadi mata uang resmi hingga jatuhnya kekhalifahan. Sejak saat itu, lusinan mata uang dari beberapa negara dicetak di setiap negara era paska kolonialisme dimana negara negara tersebut merupakan pecahan dari Dar al Islam.
Sejarah telah membuktikan berulang kali bahwa uang kertas telah menjadi alat penghancur dan menjadi alat untuk melenyapkan kekayaan uamt Muslim. Perlu diingat bahwa Hukum Syariah Islam tidak pernah mengizinkan penggunaan hutang ataupun surat janji pembayaran menjadi alat tukar yang sah
Apa Itu Dinar Dirham?Berdasarkan Ketetapan yang diputuskan oleh Sayyidina Umar Ibn Khattab, radiyallahu anhu,
Dinar emas memiliki kadar 22 karat emas (917) dengan berat 4.25 gram.
Dirham perak memiliki kadar perak murni dengan berat 3.0 gram.
Khalifah Umar ibn al-Khattab menentukan standar antar keduanya berdasarkan beratnya masing-masing: “(Berat) 7 dinar harus setara dengan 10 dirham.”
“Wahyu menyatakan mengenai dinar-dirham dan banyak sekali hukum hukum yang terkait dengannya seperti zakat, pernikahan, hudud dan lain sebagainya. Sehingga dalam Wahyu dinar dirham memiliki tingkat realita dan ukuran tertentu sebagai standar pernghitungan (untuk Zakat dan lain sebagainya) dimana sebuah keputusan dapat diukurkan kepadanya dibandingkan dengan mata uang lainnya.
Telah menjadi ijma ulama sejak awal Islam dan pada masa para Sahabat dan Tabi’in bahwa Dirham menurut syari’ah adalah 10 dirham setara dengan 7 mithqal (dinar) emas … Berat dari satu mithqal emas setara dengan 72 butir gandum, maka dirham yang tujuh-per-sepuluh darinya adalah 50 dirham dan dua-per-lima butiran gandum. Semua ukuran ini merupakan hasil ijma.”
Apa saja kegunaan Dinar Dirham?
Sebagai simpanan
Sebagai pembayar zakat dan mas kawin sebagaimana telah disyaratkan oleh Syari’ah Islam.
Digunakan untuk perniagaan sebagai alat tukar yang sah.
Penggunaan Dinar dan DirhamEmas dan perak merupakan alat tukar paling stabil yang pernah dikenal oleh dunia. Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai dari mata uang Islam yang didasari oleh mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan dengan bahan makanan pokok:
Harga seekor ayam pada masa Rasulullah, salla’llahu alaihi wa sallam, adalah satu dirham; saat ini, 1,400 tahun kemudian, harga seekor ayam tetaplah satu dirham.
Selama 1,400 tahun nilai inflasinya adalah nol.
Dapatkah kita melihat hal yang sama terhadap dollar atau mata uang lainnya selama 25 tahun terakhir ini?
Terlihat bahkan untuk jangka panjang, sistem mata uang bi-metal terbukti menjadi mata uang yang paling stabil. Ia tetap bertahan, di samping usaha dari berbagai pemerintahan untuk merubahnya menjadi mata uang simbolis yang diwakilkan oleh nilai nominal yang berbeda dengan berat yang dimilikinya.
KeunggulanUang emas tidak akan mengalami inflasi hanya karena dicetak secara terus menerus; ia tidak akan dapat didevaluasi oleh sebuah peraturan pemerintah, dan tidak seperti mata uang nasional, uang emas merupakan sebuah aset yang tidak tergantung kepada janji siapa pun untuk membayar nilai nominalnya.
Portabilitas dan tingkat kerahasiaan dari emas adalah nilai tambah yang penting, akan tetapi lebih daripada itu sebuah fakta yang tidak terelakkan adalah emas merupakan aset nyata dan bukan merupakan hutang.
Semua jenis aset kertas, seperti surat hutang, saham, dan bahkan deposito bank merupakan pernyataan janji hutang yang akan dibayarkan. Nilainya sangat bergantung kepada kepercayaan penanam modal bahwa janji tersebut akan dipenuhi. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh surat hutang sampah dan mata uang Peso Meksiko, janji yang meragukan akan segera kehilangan nilainya. Emas tidaklah seperti ini. Sebentuk emas bebas dari semua bentuk sistem finansial, dan nilainya telah dibuktikan selama 5,000 tahun sejarah manusia.
Menunaikan Zakat Zakat tidak dapat dibayarkan dengan menggunakan hutang maupun surat janji pembayaran.
Zakat hanya dapat dibayarkan dengan menggunakan barang yang memiliki nilai yang nyata, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘Ayn. Zakat tidak dapat dibayarkan dengan menggunakan janji pembayaran atau hutang, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai Dayn.
Sejak awal zakat dibayar dengan menggunakan Dinar dan Dirham. Sebuah bukti nyata bahwa pada sepanjang masa pemerintahan Ottoman hingga jatuhnya Khalifah, zakat tidak pernah diperkenankan dibayarkan dengan menggunakan uang kertas.
Shaykh Muhammad ‘Illysh (1802-1881), seorang Qadi Maliki yang terkemuka, berkata bahwa jika anda ingin membayar zakat dengan menggunakan uang kertas, maka anda harus membayarnya sesuai dengan nilainya sebagai benda (’Ayn), yang artinya nilai dari kertas itu sendiri. Maka dari itu, nilai nominal dari kertas itu tidak diperkenankan sebagai alat pembayar zakat.
“Jika zakat menjadi wajib, apapun bendanya, akan dihitung/dinisab berdasarkan sifat dan jumlahnya, bukan berdasarkan nilainya, seperti yang terjadi pada perak, emas, biji-bijian, dan buah. Apabila sifat dari benda tersebut tidak memiliki keutamaan dalam hal zakat, maka benda tersebut akan diperlakukan sebagaimana halnya tembaga, besi atau yang sejenisnya.”
Tata cara pembayaran zakat telah dijelaskan dan diatur secara sempurna dalam tata cara hukum Islam. Selama berabad-abad, ketika Syari’ah Islam ditegakan oleh seorang Khalifah atau seorang Amir, zakat selalu dibayarkan dengan menggunakan emas dan perak. Ketika uang kertas pertama kali diperkenalkan, pada abad-abad akhir oleh kekuatan kolonialisme, para ulama tradisional menolak kehadirannya karena sifatnya yang bertentangan dengan Syari’ah Islam.
Menurut pandangan para ulama tersebut, uang kertas hanya bisa dilihat sebagai fulus yang berada dalam kategori mata uang rendah yang hanya dapat digunakan sebagai pecahan mata uang kecil. Sebagai contohnya, tidak diizinkan untuk menggunakan fulus dalam perjanjian qirad . Termasuk ke dalam golongan ulama tersebut, terdapat seorang alim terkemuka keturunan daerah maghribi, Shaykh Muhammad ‘Illyash yang merupakan Shaykh dari para Shaykh fiqih Maliki di Universitas Al Azhar Mesir. Beliau menulis dalam Fatwanya:
‘Saya ditanya mengenai penilaian saya terhadap Segel Sultan (sejenis uang kertas yang digunakan pada zaman Kekhalifahan Osmanli) yang beredar sebagai pengganti dinar dan dirham. Apakah Zakat wajib atasnya, sebagaimana yang terjadi pada emas, perak dan barang dagangan, atau tidak?’
Saya menjawab:
“Segenap puji bagi Allah dan rahmat dan kedamaian bagi Junjungan kam, Sayidduna Muhammad, Rasulullah.”
“Tidak ada zakat yang dibayarkan atasnya, sebagaimana zakat diwajibkan atas hewan ternak, beberapa jenis biji-bijian dan buah-buahan, emas, perak, nilai dari pendapatan dagang dan barang simpanan. Barang yang disebutkan di atas (Segel Sultan) tidak termasuk ke dalam kategori tersebut.”
“Engkau akan melihat amal dari penjelasan mengenai hal ini pada koin tembaga atau fulus yang dicetak dan diberi segel Sultan yang ada dalam peredaran, di mana tidak ada zakat yang dibayarkan atasnya, karena tidak termasuk ke dalam kategori yang wajib untuk dizakatkan. Sebagaimana tercantum dalam kitab Mudawwana: ‘Barangsiapa yang memiliki koin receh (fulus) senilai 200 dirham dalam satu tahun, tidak diwajibkan zakat atasnya, kecuali ia merupakan barang dagangan. Maka, si pemilik harus melihat nilai koin tersebut sebgaimana nilai barang dagangan.’”
“Dalam kitab ‘Al-Tiraz’, disebutkan Abu Hanifa dan Asy-Syafi’i menyatakan dengan tegas pembayaran zakat atas koin receh, karena keduanya mempertimbangkan pentingnya membayar zakat atas nilainya, di sebutkan juga bahwa terdapat dua perbedaan dalam pendapat Asy Syafi’i, ia menyatakan bahwa sikap mazhab yang menyatakan tidak mewajibkan zakat atas koin receh, tidak ada perbedaan pula bahwa koin receh dilihat dari nilainya, bukan dari berat dan jumlahnya. Jika zakat menjadi wajib, apapun bendanya, akan dihitung/dinisab berdasarkan sifat dan jumlahnya, bukan berdasarkan nilainya, seperti yang terjadi pada perak, emas, biji-bijian, dan buah. Apabila sifat dari benda tersebut tidak memiliki keutamaan dalam hal zakat, maka benda tersebut akan diperlakukan sebagaimana halnya tembaga, besi atau yang sejenisnya.”
“Dan Allah, segenap puji dan sembah bagiNya, Maha Bijaksana. Semoga Allah memberkahi dan memberikan kedamaian bagi junjungan kita, Nabi Muhammad beserta seluruh keluarganya.”
(Diterjemahkan dari kitab ‘Al-fath Al’Ali Al-Maliki’, hal. 164-165)
Fatwa ini menyatakan bahwa uang kertas adalah fulus karena uang kertas hanya mewakili nilai nominal uang dan tidak memiliki nilai dagang. Maka dari itu, zakat tidak dapat dibayarkan dengan menggunakan uang kertas yang tidak nilainya sebagai kertas adalah nol. Saat penggunaan Dinar dan Dirham sebagai alat pembayaran zakat ditegakan kembali, maka jutaan koin emas dan perak akan kembali hadir di kegiatan perniagaan sehari-hari. (sumber : http://muamalat.wordpress.com/2007/06/16/dinar-emas-dan-dirham-perak/ )